Penjajahan Modern Melalui Algoritma dan Data
Daftar isi:
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyampaikan peringatan penting tentang bentuk-bentuk baru penjajahan di era modern. Dalam seminar internasional yang memperingati 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, ia menyatakan bahwa penjajahan kini hadir melalui algoritma dan data, yang menunjukkan bahwa kolonialisme belum sepenuhnya berakhir.
Ia mengaitkan perjuangan untuk dekolonisasi saat KAA dengan tantangan menghadapi neokolonialisme digital saat ini. Menurut Megawati, sifat baru dari penjajahan ini berpotensi menjerat banyak negara, termasuk negara berkembang, dalam cengkeraman ketergantungan teknologi.
“Jika dahulu penjajahan terwujud dalam bentuk meriam dan kapal perang, kini tugas itu dilakukan melalui algoritma dan penguasaan data,” jelas Megawati. Hal ini menunjukkan betapa signifikan dan mendesaknya masalah ini bagi masyarakat global saat ini.
Pentingnya Menyadari Ancaman Neokolonialisme Digital di Era Modern
Megawati menekankan bahwa neokolonialisme digital adalah isu serius yang perlu diperhatikan oleh setiap bangsa. Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, negara-negara maju menguasai sebagian besar data, sementara negara-negara berkembang sering hanya menjadi pengguna tanpa kendali. Ini menandai ketimpangan yang sangat mencolok dalam peta globalisasi.
“Dari Blitar ini, saya menyerukan kepada dunia untuk membangun dunia baru yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani,” tegas Megawati. Ia melihat perlunya langkah konkret untuk mendefinisikan kembali kekuatan dalam ranah teknologi agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang lebih dalam.
Perjuangan ini bukan hanya sekadar kesadaran individu, melainkan menjadi tanggung jawab setiap bangsa untuk memperjuangkan kedaulatan di ranah digital. Tanpa tindakan dan kesadaran ini, kebebasan yang sejati bisa menjadi kabur, terjerat dalam permainan besar konglomerasi teknologi.
Data sebagai Komoditas: Ancaman yang Perlu Diwaspadai
Megawati mengungkapkan bahwa saat ini data telah berubah menjadi komoditas yang sangat berharga. Laporan riset menunjukkan 70 persen data dunia dikuasai oleh segelintir raksasa teknologi dari negara maju. Hal ini mengancam kedaulatan dan kemajuan negara berkembang yang tidak memiliki akses atau kontrol atas data yang mereka hasilkan.
Kondisi ini menciptakan risiko ketergantungan dan potensi kebocoran data yang dapat merugikan negara-negara tersebut. Sejumlah layanan penting, seperti penyimpanan awan dan basis data, masih bergantung pada pihak asing, yang semakin menambah kerentanan mereka terhadap intervensi luar.
Megawati menekankan bahwa tantangan digital ini lebih dari sekadar persoalan ekonomi. Ini adalah perjuangan untuk kemanusiaan dan kedaulatan bangsa yang tidak boleh diabaikan. Ia menegaskan perlunya kontrol terhadap teknologi untuk mencapai kemerdekaan sejati di era digital.
Membangun Etika Global Baru melalui Pancasila
Dalam konteks permasalahan ini, Megawati menekankan pentingnya keberanian moral yang pernah ditunjukkan oleh seluruh tokoh bangsa, termasuk Bung Karno. Dia percaya bahwa dunia memerlukan regulasi yang lebih ketat untuk mencegah teknologi menjadi instrumen penindasan baru di abad ke-21.
Menurutnya, nilai-nilai Pancasila bisa menjadi pedoman etika dalam dunia digital. Pancasila berfungsi sebagai falsafah universal yang menjaga keseimbangan antara hak individu dengan tanggung jawab sosial, serta antara kedaulatan nasional dan solidaritas antarbangsa.
Dengan mengedepankan etika kemanusiaan dalam alur kemajuan teknologi, Megawati menggambarkan dunia yang ideal. Sebuah dunia yang tidak hanya dikuasai oleh mesin dan modal, tetapi mendasarkan dirinya pada nilai-nilai kemanusiaan yang otentik, sehingga manusia dapat tetap berada di pusat peradaban.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now








