Siswa Sekolah Rakyat di Ambon Dihukum Guru Karena Meremake Tato
Daftar isi:
Seorang siswa di sebuah sekolah di Ambon berinisial MAL (17) mengalami kekerasan yang diduga dilakukan oleh seorang guru. Menurut laporan, korban disetrika pada bagian dada, mengakibatkan luka bakar serius yang membuatnya merasakan penderitaan yang mendalam.
Peristiwa ini terjadi setelah MAL dan enam temannya membuat tato di tubuh mereka, yang terbuat dari tinta diukir dengan nama masing-masing. Tindakan mereka terdeteksi oleh wali asuh sekolah, yang kemudian mengumpulkan mereka untuk memberikan nasihat agar tidak melakukan hal serupa lagi.
Namun, situasi berubah saat seorang guru bernama Bahri masuk dengan membawa setrika panas dan langsung menempelkan alat tersebut ke dada korban tanpa peringatan. Korban, yang kaget dan tidak berdaya, hanya bisa pasrah menghadapi hukuman tersebut.
Rincian Peristiwa Kekerasan di Sekolah Menengah Atas
Kekerasan ini terjadi dalam konteks yang mengecewakan, di mana siswa seharusnya belajar dan berkembang. Hukuman yang diterima oleh MAL ditanggapi dengan serius oleh berbagai pihak, terutama orang tua dan masyarakat sekitar. Mereka merasa tindakan yang dilakukan oleh Bahri sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.
Korban merasa tidak dapat membela diri saat tindakan kekerasan tersebut dilakukan, dan dalam pengakuannya, ia menyatakan bahwa pengalaman itu sangat menyakitkan. “Saya tidak mengira akan mendapatkan hukuman semacam itu,” ujarnya. Sejumlah teman lainnya yang berada di lokasi juga merasa terkejut dan tidak menyangka kekerasan akan dilakukan terhadap mereka.
Pihak sekolah, termasuk kepala sekolah, menjelaskan bahwa mereka sangat menyesalkan kejadian tersebut. Afia Joris, Kepala Sekolah Rakyat Menengah Atas 40, menyatakan bahwa pelanggaran tersebut seharusnya disikapi dengan cara yang lebih mendidik, bukan dengan kekerasan. Dia berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.
Kepala Sekolah Menyampaikan Penyesalan dan Upaya Hukum
Kepala sekolah menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Bahri merupakan pelanggaran besar terhadap etika pendidikan. “Saya kecewa dan marah mendengar apa yang terjadi pada siswa kami,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa upaya mediasi sedang dilakukan, tetapi belum ada keputusan resmi untuk melanjutkan ke jalur hukum.
Setelah kejadian ini, banyak orang tua mengajukan keluhan dan meminta transparansi dari pihak sekolah mengenai langkah selanjutnya. Mereka berharap agar ke depannya, kejadian serupa tidak terulang dan siswa-siswa lain terhindar dari kekerasan. Masyarakat merasa peduli dan ingin memastikan lingkungan sekolah tetap aman untuk anak-anak mereka.
Dalam pernyataannya, Afia menekankan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dalam mendidik siswa. Dia berusaha untuk memperbaiki sistem agar kekerasan semacam ini tidak terjadi lagi. “Kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif bagi semua siswa,” ujarnya.
Peran Kementerian Sosial dalam Kasus Ini
Kementerian Sosial juga menjadi sorotan dalam kasus ini, karena merupakan institusi yang mengelola sekolah tersebut. Bahri, yang berperan sebagai pegawai di kementerian, disebutkan melakukan tindakan tersebut meskipun bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang guru. Ini menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan pengurus sekolah dan orang tua siswa.
Instansi pemerintah diharapkan mengambil tindakan tegas terhadap pegawai yang terlibat dalam insiden ini. Sementara itu, Kementerian Sosial juga diharapkan dapat memberikan pelatihan kepada pegawai mereka untuk mencegah kekerasan di sekolah. Mereka perlu memahami peran mereka dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Pihak kementerian menegaskan bahwa mereka akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kejadian ini. Mereka berkomitmen untuk memperbaiki sistem yang ada dan memastikan bahwa setiap pegawai memahami tanggung jawab mereka terhadap siswa. “Kami tidak akan mentolerir kekerasan dalam bentuk apapun di sekolah,” kata perwakilan kementerian.
Reaksi Masyarakat terhadap Insiden Kekerasan di Sekolah
Insiden ini telah memicu reaksi keras dari masyarakat, yang mengecam tindakan kekerasan terhadap siswa. Banyak pihak menuntut agar pelaku dihadapkan pada konsekuensi hukum yang berat. Media sosial juga menjadi sarana untuk menyuarakan kritik terhadap sistem pendidikan yang dinilai masih mengizinkan kekerasan.
Orang tua siswa dan aktivis hak asasi manusia menyerukan tindakan lebih lanjut untuk melindungi anak-anak dari kekerasan di lingkungan sekolah. Mereka mendesak agar pihak berwenang melakukan investigasi yang mendalam sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Ada seruan untuk pusat pendidikan agar mengedukasi guru dan staf mengenai hak-hak siswa.
Banyak yang berharap, kejadian ini menjadi momentum untuk mendorong perubahan dalam sistem pendidikan. Pendidikan yang non-kekerasan dan berbasis kasih sayang harus menjadi prioritas utama untuk menciptakan generasi yang lebih baik.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now









